SEJARAH BALI

profilekomunikasipaketkontak
paket tour 2 malam paket tour 3 malam paket tour 4 malam
Paket Tour Murah

Masa Antara 882 - 1343 M
Berbagai prasasti yang ditulis di atas lempengan tembaga ditemukan di Bali yang mencatat angka tahun 882 sampai dengan 910 M. Namun dari semua keputusan raja yang terdapat dalam prasasti tersebut satupun tidak ada yang menyebutkan nama atau diansti yang berkuasa. Tempat yang sering disebut oleh dalam prasasti tersebut adalah daerah Kintamani dengan danaunya serta beberapa desa sekitarnya yang sampai sekarang kita masih kenal seperti Trunyan, Songan dan Kedisan. Raja menetapkan tugas dan kewajiban warga, menetapkan batas-batas desa, larangan dan ijin untuk membuka hutan dan berburu, mengatur para pendatang dan sebagainya.

Barulah pada tahun 910 M sangat jelas bahwa Bali dipeintah oleh sebuah dinasti bernama Warmadewa dengan raja yang berkuasa bernama Sri Kesari Warmadewa. Raja mengabadikan kejadian kemenanganya melawan mush-musuhnya di Suwal an Gurun. Prasastinya ini cukup lengkap yang ditemukan di desa Blanjong Sanur. Namun sayang sampai sekarnag nama Suwal dan Gurun tak bisa diidentifikasi.

Antara tahun 915 - 942 berkuasa seorang raja bernama Sri Ugrasena Warmaweda. Masa kekuasaannya ini bersamaan dengan seorang raja Besar Mataram bernama Empu Sindok di Jawa. Tak banyak diketahui selama masa pemerintahannnya.

Antara tahun 960 - 989 Berkuasa seorang raja bernama Sri Chandrabhaya Singha Warmadewa. Beliau mendirikan pura Tirta Empul di Tampak Siring. Selain itu tidak banyak diketahui tentang kegiatan raja ini.

Antara tahun 989 - 1001 M berkuasa Dharma Udayana Warmadewa, yang merupakan raja besar Bali, banyak sekali kegiatan yang tercatat dalam prasasti raja ini. Yang paling penting untuk disebutkan adalah mulainya dipakai sistem kalender Jawa ( Wuku ) sehingga orang Bali mulai mengenal yang namanya Sugian, Galungan dan Kuningan, banyak kegiatan yang berdasarkan kelender Saka diganti dengan sistem Wuku, dan penggantian bahasa Bali Kuno ke bahasa Jawa Kuno.

Antara 1001 - 1049 memerintah seorang raja bernama Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa. Ini agak aneh karena Marakata menyebut diri sebagai diansti Dharmawangsa, seorang raja yang berkuasa di Mataram sebelum Airlangga. Karena sampai saat ini belum ditemukan bukti lain maka beliau dianggap sebagai pengganti Udayana dan mungkin anak dari Udayana dan saudara dari Airlangga.

Antara 1049 - 1077 M berkuasa raja Anak Wungsu. Beliau adalah raja yang paling aktif mencatat kejadian-kejadian selama pemerintahannya selama 28 tahun. Dokumen kerajaannya tersebar di seluah wilayah Bali yang membuktikan bahwa kekuasaannya secara menyeluruh di pulau Bali. Anehnya dalam masa pemerintahan Anak Wungsu ada raja lain yang memerintah namanya Sri Maharaja Walaprabu. Prof. Damais menduga prasasti ini dikeluarkan antara 1001 - 1010 M. Mungkin Walaprabu itu menunjuk kepada Anak Wungsu, karena Wala atau Bala artinya Anak, sedagkan Anak Wungsu menunjuk kepada raja dari anak terkecil.

Antara 1080 - 1100 M memerintah seorang raja perempuan bernama Sri Sakalendu Kirana. Tidak banyak yang bisa diketahui dari raja ini kecuali masa pemerintahannya yang selama 20 tahun.

Antara 1115 - 1119 M memerintah sangat ringkas Sri Suradipa. Hanya satu dokumen dari raja ini ditemukan, sehingga tak bisa diketahui aktivitasnya.

Antara tahun 1133 - 1150 memerintah seorang raja bernama Jayasakti, yang bersamaan juga dengan raja di Jawa bernama Jayabhaya. Namun tak banyak juga bisa diungkap pada masa pemerintahannya.

Antara tahun 1119 - 1181 berkuasa raja bernama Jayapangus. Masih banyak masa yang tak jelas dalam periode ini, karena dari 39 buah dokumen yang ditemukan semuanya dikeluarkan pada tahun yang sama yaitu 1181 M. Mungkin dokumen lainnya belum ditemukan, atau memang tidak ada.

Antara 1181 - 1343 berkuasa raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten. Raja ini yang diketahui mengawini putri China dari dinasti Chung, dan tahun 1943 ditaklukkan oleh Majapahit.

Masa Antara 1343 - 1945
Setelah Bali menjadi bagian dari Majapahit, seorang raja dikirim dari Jawa yaitu Sri Ketut Kresna Kepakisan, dengan kedudukan istana berada di Samprangan, Gianyar. Beliau membawa beberapa pembantu sebagai kepala pasukan yang dikenal dengan titel Arya atau Krian yang ditempatkan di beberapa wilayah setrategis di seluruh Bali.

Antara 1350 - 1380 M berkuasa raja Sri Ketut Dalem Kepakisan
Bali mulai mengenal nama urut lahir seperti Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Anak-anak dari raja mulai disebut bergelar Raden atau I Dewa.

Antara 1380 - 1460 Dalem Ketut Ngulesir, pusat kerajaan dipindahkan ke Gelgel, dekat Klungkung. Raja ini memperingati Raja Bali terakhir Asta Sura pada tanggal 4 Maret 1330 dengan melakukan upacara Cradha ( Ngaben sekarang ). Oleh karena itu orang Bali yang setia kepada raja Asta Sura akhirnya bersimpati kepada raja kiriman Majapahit ini.

Antara 1460 - 1550 berkuasa raja Bali-Majapahit yang terkenal yaitu Waturenggong. Pada masa ini kerajaan mencapai puncaknya, pada hal Majapahit mulai runtuh tahun 1478. Bali menguasai Lo mbok dan Blambangan ( sekarang Banyuwangi ). Banyak karya sastra yang dihasilkan pada saat pemerintahannya terutama kidung dan pupuh yang sering dikumandangkan oleh kelompok pesantian selama ada upakara agama. Sebenarnya kidung dan pupuh ini sudah ada di jaman Mataram ( Jogya ) yang dikenal degna macepat, dan tembangnya juga persis sama seperti sinom, kumambang, dandang dan sebagainya. Mungkin hanya liriknya yang dibuat baru.

Antara 1550 - 1580 berkuasa Raja Dalem Bekung. Pada masanya banyak sekali kekacauan di istana, yang menurut cerita akibat permainan asmara di kalangan pejabat tinggi kerajaan yang memaksa raja untuk bertindak keras.

Antara 1500 - 1605 berkuasa raja Dalem Segening. Pada masanya Belanda mulai mengunjungi Bali dan mengadakan kerjasama dagang. Raja mengijinkan Belanda mendirikan sebuah bangunan atau Loji di Klungkung. Karena ketahuan berdagang budak, maka raja mencabut ijinnya. Kekuasaan Bali atas Sumbawa di Timur diancam oleh Makasar, sedangkan Pasuruan dan Banyuwangi diancam oleh Mataram islam. Waktu itu Jogyakarta baru saja menjadi kesultanan, dengan perubahan sosial yang besar dari Hindu ke Islam.

Antara 1605 - 1686 berkuasa Dalem Dimade. Pada masa pemerintahannya wilayah kerajaan di Jawa jatuh ke tangan Mataram, sedangkan Sumbawa dan Lombok jatuh ke tangan Makassar. Hal ini bisa terjadi karena di dalam istana sendiri terjai kekacuan yang sagnat besar yaitu pengkiantan yang dilakukan oleh kepala pasukannya sendiri Gusti Agung Dimade yang telah melakukan pembrotakan 2 kali yang ke dua tahun 1651 berhasil mengalahkan raja. Namun beberapa baudanda ( kepala wilayah ) yang setia kepada raja berhasil mengalahkan Gusti Agung Dimade dan menyelelamatkan 2 putranya Dewa Mayun dan Dewa Jambe dan mendudukkan kembali putra raja sebagai penguasa.

Jaman Klungkung 1710 - 1945
Dewa Jambe dengan bantuan baudanda yang setia setelah berhasil mengalahkan Gusti Agung Dimade, memindahkan ibukota kerajaan ke Semarapura atau Smarajaya yang sekarang dikenal dengan nama Klungkung.

Antara 1710 - 1775 berkuasa raja Dewa Jambe bergelar Dewa Agung Jambe. Usaha raja untuk mempersatukan Bali saja mengalami kesulitan yang besar, walaupun berhasil hanya sementara. Pada masa pengganinya Dewa Agung Dimade I 1775 - 1824 kemerostan semakin jelas dan lebih-lebih pada masa penggantinya yaitu Dewa Agung Dimade II 1824 - 1870 Bali pecah menjadi 10 kerajaan kecil yang sebagian besar dipimpin oleh keturunan Arya dengan gelar I Gusti, hanya Gianyar dan Bangli saja yang dipimpin oleh keturunan raja Klungkung dengan gelar Dewa Agung, akan tetapi oleh Belanda tahun 1929 raja Gianyar diberi gelar Cokor I Dewa, sedangkan yang di Bangli diberi gelar Anak Agung sama dengan raja-raja kecil lainnya. Memasuki abad ke-20 dari 10 kerajaan kecil di Bali yang saling berebut kekuasaan tinggal hanya 8 dan pada masa kemerdekaan ditetapkan sebagai daerah kabupaten.